07
Aug

BUNGA DAN TEMBOK : FILM PENDEK TENTANG WIJI THUKUL DIPUTAR DI KALANGAN AKADEMISI SINGAPURA

Film pendek berjudul Bunga Dan Tembok (Flowers In The Wall) karya sutradara Eden Junjung dari Yogyakarta berkesempatan untuk bertemu penonton di Singapura. Fim pendek ini menceritakan sisi lain dari Keluarga Wiji Thukul, sastrawan dan aktivis yang hilang di tahun 1996. Film ini diundang oleh National University Singapore dalam forum “Bahasa Thukul dan Wiji Melawan” pada tanggal 8 Oktober 2016 lalu berlokasi di Malay Herritage Center Singapura. Hadir juga dalam forum ini Ahmad Anfasul Marom selaku Executive Producer film ini dan Fajar Merah, putera bungsu Wiji Thukul yang menampilkan lagu-lagu yang dia buat dari puisi Wiji Thukul.

Film yang diproduksi oleh Elora Production ini diundang khusus oleh National University Singapore (NUS) untuk memperkenalkan lebih jauh wacana sastra Indonesia serta memperlihatkan realita kehidupan Wiji Thukul sebagai seorang sastrawan yang puisi puisinya memiliki semangat perlawanan.

Bunga Dan Tembok menceritakan tentang perjalanan Dyah Sujirah (Istri Wiji Thukul) dan Fajar Merah anaknya mengurus surat kematian Wiji Thukul. Peristiwa yang dialami oleh Dyah dan Fajar dalam film ini mungkin terasa singkat, atau bahkan sederhana bagi sebagian orang. Tapi tidak bagi mereka yang menjadi keluarga korban penghilangan paksa. Sebagai sebuah film fiksi yang diilhami dari kisah nyata, film ini menjadi sebuah upaya reflektif dari sutradara untuk menjahit sejarah, fakta, serta metafora yang kontekstual dengan kondisi Indonesia saat ini.

Film yang dibintangi oleh Erythrina Baskoro dan juga Landung Simatupang ini menyuguhkan anomali yang terjadi di negeri ini akan status korban penghilangan paksa melalui sudut pandang keluarga korban. Sejak peristiwa hilangnya Wiji Thukul, keluarganya percaya bahwa Wiji Thukul sebenarnya masih hidup. Himpitan ekonomi yang memaksa mereka membuat surat kematian Wiji Thukul demi urusan administrasi peminjaman bank kemudian menjadi ironi, karena ekspektasi yang selama ini mereka hidupi dengan harapan akhirnya mereka hancurkan  sendiri demi urusan perut.

Selain khalayak umum dan mahasiswa dari NUS, pemutaran ini juga dihadiri oleh para sastrawan-sastrawan besar Singapura seperti Suratman Markasan, Mohamed Latiff Mohamed dan Jamal Ismail. Juga hadir wartawan senior Mohd Raman Daud, Dr Kartini Anwar (Nanyang Technological Institute) dan Dekan Sastra Melayu NUS Prof. Madya Noor Aisha Abdul Rahman.

Ketua acara yang juga dosen NUS Dr Azhar Ibrahim mengatakan “Karya-karya Wiji Thukul dikenal oleh khalayak akademis di Singapura, tapi tidak banyak yang tahu tentang nasib tragisnya. Film pendek dan penampilan Fajar Merah disini membuat kami sangat salut dan terharu akan keberaniannya, film ini juga memancing kita menjadi lebih memahami masyarakat Indonesia dengan lebih dekat.”

Courtersy Photo Elora Films